Kamis, 04 November 2010 | By: zalulfanfa

PERTEMUAN DI UJUNG JALAN

semerbak angin malam membawaku menemuinya malam itu. kutapaki jalan di hadapanku tanpa tahu ada apa di ujung jalan. Kunang-kunang menerangi sepanjang jalan, dan aku masih tertunduk. Dirinya dan segudang pertanyaan menari-nari di benakku. Untunglah hari sudah agak malam. Tak ada kendaraan yang mengancam keselamatanku. Malam ini, pukul 11 malam, aku keluar dari tempat teramanku, mempertaruhkan harga diri dan kodratku sebagai wanita demi menemuinya. Demi pesan pengharapan yang ia sampaikan di ujung telepon tadi."tidak baik melamun, Ra"aku tersentak. aku kenal suara itu. kuangkat kepalaku perlahan. Tampak sesosok manusia di ujung jalan ini. Aku hampir tak mengenalinya. badannya kurus."aku kira kau tidak akan datang, Ra"aku masih terdiam.benarkah dirinya? kucari jawaban di sorot matanya. tak ada. sorot mata itu berubah."Ra, aku senang melihatmu"aku masih enggan berbicara. aku masih ragu. angin malam seolah menghanyutkanku karena kediamanku. suara gemerisiknya mengutukiku yang sedari tadi diam."Ra, bicaralah"ia mulai melangkah mendekatiku.kakiku bergerak mundur.Kenapa dengan kaki ini."Kenapa, Ra? Kenapa Kau menjauhiku? Ini aku. Aku kembali"ia maju lagi. kali ini kakiku tak bergerak."Aku kedinginan, Ra"ia memelukku. badanku mati rasa. tak bisa bergerak. Aku jelas merasakan dinginnya tubuhnya. tapi aku masih tak tahu mau berkata apa. Diam.sedetik, dua detik, semenit, lima menit, ia masih memelukku. badannya jelas sangat berbeda. ia jauh lebih kurus.8 menit berlalu. tubuhku masih dipeluknya."Kakiku kram, Agung"akhirnya mulutku terbuka juga. ia agaknya mengerti, melepas dekapannya. aku duduk di sebuah balok tepian jalan tepat di bawah lampu ujung jalan ini.ia mendekat lagi. dentang waktu bergerak pelan."Ra, maafkan aku"aku beranikan diri menatap ke dalam matanya. aku memang sudah tak menemukan lagi cahaya mata yang dulu selalu kurindukan. kemana hilangnya kemilau itu, batinku protes. mungkinkah hilang bersama semangat hidupnya.semenit, dua menit. waktu berdetak semakin pelan. bibir itu mulai menggulung senyuman. tapi tak seindah senyuman yang dulu dia berikan.perlahan tangannya mengusap pipiku. dingin. tangan itu tak selembut dulu. kaku. gemetar."Apa yang terjadi selama kau pergi, Agung?"kukeluarkan sebuah pertanyaan yang sedari tadi menggerogoti pikiranku. ribuan pertanyaan lain kini menanti giliran."Apa yang terjadi selama aku pergi, Ra? Siapa yang telah menggantikanku di hatimu?"matanya tajam menatap mataku. aku sedikit takut. sorot matanya liar. perubahan itu membuatku gugup."Jangat takut, Ra. Meski mereka mengataiku kejam, aku tak akan mampu melukaimu.tak akan"aku sedikit lega. tapi ia mendekat lagi. mencium pipiku. aku tersentak. sekarang sudah hampir pukul 12 malam. apa jadinya jika ada yang melihat?"Kau masih tak berubah, Ra. wangimu tak berubah. kau masih memakai bedak yang sama saat aku mencium pipimu pertama kali. aku ingat jelas itu. Kini aku yakin kau masih milikku"kulihat sorot matanya kembali seperti saat kami berjumpa tadi. kami kembali terdiam. sunyi. hanya sorot lampu yang menerangi ujung jalan malam itu.beberapa menit berlalu. ia membuka suara"Aku belum bisa memberitahumu apa yang terjadi, Ra. suatu saat kau akan tahu apa yang membuatku kehilanganmu sesaat. Aku harus pergi sekarang. Tapi aku akan selalu menantimu disini, Ra. Saat rindu, kutunggu kau disini."Ia pun berlari. pergi bersama angin malam yang gemericiknya kembali mengutukiku. ia hilang di ujung jalan ini.kutengadahkan kepala. bulan sabit tersenyum. ia meninggalkanku bersama pertanyaan yang tak terjawab. kulangkahkan kaki menjauhi ujung jalan ini. pulang bersama rasa yang kini kembali.

0 komentar:

Posting Komentar